SUSI WATI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

SAMPUL TAK BERJUDUL

SAMPUL TAK BERJUDUL

Notifikasi whatsapp ku berbunyi, bertanda ada pesan yang masuk. Tapi itu tak mengangguku, maklum malam ini deadline tugas kantor dan besok pagi, siap grakk tugas ini harus dikumpulkan. Aku tak ingin mendapat cemberutan dan petasan dari makjo. Ya makjo itu sebutan aku dan kawan-kawan untuk pimpinan devisi kami. Dia mendapatkan nama cantik nan keren itu karna sebiasannya yang selalu mengunakan kata alahmak…alahmak…alahmak, bila kami tak memahami apa yang diinginkannya.

Berkali -kali notifaksi whatsapp ku berbunyi lagi, ya Allah..ternyata malam ini banyak sekali orang yang bergadang kayak bang Rhoma Irama yaa desah ku sambil tersenyum sendiri, sambil menyimpan file tugasku yang alhamduliilah telah kelar.

Ugghh…mataku sudah tak bersahabat lagi, seperti ada kayu dimataku, karena memang waktu telah menunjukan pukul 2.40, bergegas aku berwudhuk dan melanjutkan sholat sunnah, aku tak mau ambil resiko dengan langsung tidur dan bablas tak bisa melaksanakan tahajud malam ini-( alhamdulillah semoga terus istiqomah ya Allah)

Notifaksi whatsappku berbunyi lagi, sesaat sebelum aku menyelesaikan tilawah surah al-mulk. entah mengapa, Kali ini tangan dan hatiku tak mau cuek, seakan ada yang mendorong ku untuk membuka benda kecil ajaib itu. Baiiikkkk lahhh…sebentar saja, mungkin ada pesan yang penting, gumam ku. Sikapku ini bukan tanpa sebab, karena setiap kali akan tidur dan kembali membuka HP, entah mengapa mata bulat bola bekel (eh- kebesaran ding) ini langsung jadi melotot dan akhirnya aku akan jadi pengemar bang Rhoma lagi – terlalu.

Sekejab samsung jadul itu telah ada ditanganku, banyak pesan di setiap group, namun aku tertegun pada whatsapp japri, pada sebuah nama ilawati. Ya ilawati adalah teman baikku, kami banyak melewati fase dan moment-moment hidup bersama, dari mulai di bangku kuliah hingga kami ernah bekerja ditempat dan divisi yang sama.

Dia bukan hanya teman, tapi juga saudara. Kesedihan dan kegalauanku saat melahirkan anak pertama yang tanpa ditunggui orang tua maupun mertua, tertutupi dengan kehadiran ilawati menguatkanku.

Kami juga punya beberapa makanan kesukaan yang sama, dari pecel, ketupat sayur padang dan sambal teri medan, membuat persahabatan kami semakin dekat.

Walau harus diakui, sejak PSBB dan ilawati pindah kantor serta mengikuti suaminya untuk pindah rumah, pertemuan kami sedikit terhalang, namun beberapa percakapan ringan masih tetap kami lakukan dengan rutin.

“Mbak…aku sudah tidak sanggup lagi…tidak kuat lagi mbak….lelah …lelah mbak”.

“sampai kapan aku harus bertahan mbak…., “

Emoticon tangis berjejer dikirim ilawati di akhir chatnya…..

Meski usia kami sebaya, ilawati senang memanggilku mbak, katanya biar dia kelihatan awet muda- sak karepmu lah friends, biasanya sambil terkekeh aku menanggapi celotehnya.

Curhatan ilawati bagiku bukanlah yang pertama, selama lebih lima tahun ini aku tahu bahwa ada yang tidak baik-baik saja pada ilawati. Aku melihat kekecewaan, keputus asaan, dan rasa ketidak bearti pada dirinya.

Ilawati, perempuan berkulit putih dengan paras cantik, serta perempuan cerdas dan mau bekerja keras. Meski aku tak akan mengatakan dia sempurna sebagai manusia, namun sulit sekali untuk mengatakan bahwa ilawati tidak baik. Di tengah segala keterbatasannya, dia selalu berusaha berbuat terbaik untuk keluarga, sahabat dan orang-orang disekitarnya.

Aku melihat pengorbanannya pada keluarga suaminya, serta usahanya untuk mengurus dan memenuhi seluruh kebutuhan orang tuanya, meski ia anak perempuan dan punya abang kandung laki-laki, tapi ilawati tak pernah lepasa tangan untuk membahagiakan orang tua dan mertuanya.

Perempuan bersahaja itu memang tidak sempurna, namun ia pernah bersedia berjauhan dengan anak dan suami, hanya untuk menerima tawaran kerja, karena saat itu suaminya sedang di PHK. Aku tahu usahanya untuk mendukung suaminya tak pernah putus, saat suaminya ingin bangkit, dia menyisihkan beasiswanya, untuk membantu agar suaminya punya modal untuk memulai usaha.

Kesedihan ilawati bermula kurang lebih 6 tahun lalu, sesaat setelah ayah dan ibu mertuanya wafat. Seperti kebanyakan keluarga dimana setelah kepergian orang tua, maka terjadi proses bagi-bagi warisan.

Ila pernah bercerita bahwa suaminya sangat ingin bisa membeli rumah warisan mereka, karna memang rumah itu dekat dengan mesjid dan lingkungannya baik. Suami ila juga orang baik, mas didi orang yang selalu menjaga sholat lima waktunya. Beliau juga penyabar dan sederhana, hidup mereka berdua sebagai suami istri sebenarnya sangat baik sebelum itu.

Namun sedikit kekhilafan mas didi, telah membuat ilawati menjadi korban penghinaan bagi ipar-ipar nya dan tanpa daya, karena tak ingin berselisih dengan saudara-saudaranya mas didi tak melakukan pembelaan apapun untuk ilawati.

Sejak itu aku sering memergoki ila menangis sendiri dibalkon belakang kantor kami. Aku tahu, ia mencoba menguatkan diri tanpa mau membesar-besarkan masalah dengan menceritakan pada orang lain…

Sampai suatu hari, rasa sedih mendorongku memaksanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Ragu kulihat ila memulai ceritanya, berkali ila menyampaikan “beritahu salahku ya mbak”…”jangan dibela bila memang aku bersalah”, “jangan sungkan menasehatiku ya mbak” pintanya berulang…, dan aku memegang erat tangannya serta memastikan bahwa aku ada sebagai saudara dan tak akan menjerumuskannya bila apa yang ia lakukan memang salah.

Kesedihan terbesar ilawati adalah saat teror datang dari para ipar yang menyebutnya gila harta dan ingin menguasai harta keluarga. Teror ucapan hingga di sebut sebagai binatang tak pernah di jawab oleh ila, namun semua itu semakin menyakitkan saat mas didi suami ila, tak pernah sedikitpun membela ila di hadapan ipar-iparnya.

Berkali ila bertanya, “mengapa mas tidak membela saya” Mas didi hanya mengatakan tak mau ada masalah lain yang lebih besar. “Masalah apa”? “Dan mengapa aku yang harus dikorbankan mas”? Tanya ila mengejar., namun berkali-kali mas didi hanya meminta ilawati bersabar dan bersabar.

Aku merasa tidak bearti mbak..gumam ilawati . bertahun -tahun para ipar terus berucap buruk dan mas didi tetap diam, hingga aku merasa kalau mas didi tidak menyayangiku mbak, ungkap ila. hatiku menuntut jawaban mbak, mengapa aku yang harus menanggung bila mereka punya masalah.

Kini meski setelah bertahun, aku tetap menarik diri mbak dari adek-adek mas didi, aku trauma mbak, masih terus terngiang caci maki dan sumpah serapah mereka jelas ila padaku.

Kadang aku memandangi mas didi tanpa rasa, bila ingat bahwa laki-laki ini tak pernah membelaku mbak, isak ila sore itu.

Mungkinkah aku depresi mbak, guman ila lemah……aku kehilangan diriku………………………….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sabar ya, Mba Ila (pengen lebih muda dari mba Ila). Jika yang kita lakukan benar... Kebenaran itu bisa jadi akan tampak belakangan hari. Allah hanya ingin menguji kesabaranmu dan suamimu. Proses kenaikan jenjangmu dan masuknya hidayah kepada saudaramu (ipar) Mantul, Bu Susi....

04 Jul
Balas

keren ibu.. Salam

04 Jul
Balas

Ilawati, sangat mengguh rasa pembaca

04 Jul
Balas



search

New Post